Benarkah Kita Menyayangi Bahasa Indonesia?

Sering kita dengar bahwa bahasa itu menawarkan bangsa. Kebangsaan seseorang dapat dilihat melalui bahasanya. Kita bangsa Indonesia dengan besar hati berbahasa Indonesia. Kita menyampaikan bahwa kita mengasihi Indonesia, termasuk bahasanya. Apalagi kita sebagai mahasiswa yang mempelajari bahasa Indonesia dan kelak akan mengajarkannya kepada orang lain. Namun, yang menjadi pertanyaan ialah Benarkah kita mengasihi bahasa Indonesia?

Ketika kita cinta kepada sesuatu, tentu kita akan berusaha untuk selalu memperhatikannya, merawatnya, menjaganya. Kita akan menempatkannya di daerah yang kondusif tidak terjamah oleh orang lain yang mungkin akan menjadikan kerusakan. Begitu juga saat kita mengasihi seseorang, kita akan berusaha menjaganya, menyayanginya, memperhatikannya. Kita akan menempatkannya di daerah yang ‘aman’ tidak diganggu orang lain. Tentu kita tidak akan rela jikalau orang yang kita cintai dirusak oleh orang lain. Itulah yang harus kita lalukan jikalau kita mengasihi sesuatu atau seseorang.


Sama halnya saat kita mengasihi bahasa Indonesia. Kita mengasihi bahasa Indonesia alasannya ialah kita ialah orang Indonesia. Tak peduli kita mahasiswa aktivitas studi apa, fakultas apa. Tak peduli dosen, presiden, hakim mahkamah konstitusi, kuli bangunan, sastrawan, tukang becak atau apapun pekerjaannya, selama kita ialah warga negara Indonesia kita harus mengasihi bahasa Indonesia. Seharusnya kita harus menjaga bahasa Indonesia sebagai milik bersama dari kerusakan.


Jika kita memang mengasihi bahasa Indonesia, kita harus menjaga bahasa Indonesia semoga tidak terkontaminasi oleh bahasa lain, terutama bahasa asing. Memang kita akui bahwa bahasa Indonesia ialah bahasa ‘gado-gado’, bahasa absurd dapat diserap ke dalam bahasa Indonesia saat bahasa Indonesia sendiri tidak mempunyai padanan kata yang dimaksud. Misalnya saja kata ‘television’ dari bahasa Inggris yang diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘televisi’. Hal ini dilakukan alasannya ialah bahasa Indonesia tidak mempunyai padanan untuk kata ‘television’.


Namun, bahasa Indonesia kini terkontaminasi oleh bahasa absurd yang yang menggantikan kedudukannya. Kita sedang membicarakan cinta, kita buat teladan dari kata ‘cinta’. Orang lebih suka memakai ‘love’ untuk mengambil alih tugas kata ‘cinta’. Lihat saja di jalanan, spanduk, televisi, iklan di media cetak bahkan di baju mahasiswa yang –katanya- ialah mahasiswa bahasa Indonesia. ‘cinta’ telah dikudeta oleh ‘love’. Apakah kata ‘aku cinta …’ lebih hina dibandingkan ‘I love …’.


Apakah dengan memakai kata impor Inggris kita merasa lebih terhormat jikalau dibandingkan dengan memakai kata yang diproduksi dalam negeri ini? Jika jawabannya ‘iya’ maka hal ini menunjukan bahwa kita masih belum mengasihi bahasa Indonesia.


Mari kita mengasihi bahasa Indonesia dengan sepenuh hati. Menjaganya, merawatnya serta melestarikannya. Bukan hanya alam yang perlu kita lestarikan, bahasa juga. Bahasa menawarkan bangsa, setiap bangsa mempunyai budaya. Budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ialah budaya yang tinggi. Bangsa yang mempunyai budaya sopan santun dan etika ketimuran. Jika bahasa kita sudah tercemar, maka bukan mustahil budaya kita juga sudah tercemar. Jika budaya sudah tercemar, maka kepribadian kita sebagai bangsa Indonesia juga tercemar. Jangan lagi mengaku sebagai bangsa Indonesia jikalau tidak mau menjaga kemurnian bahasa Indonesia. Tidak lagi merupakan dari bangsa Indonesia orang yang mencemari bahasa Indonesia dengan bahasa asing.


Mari kita cintai bahasa Indonesia dengan sebenar-benarnya cinta. Tak perlu sok Inggris. Tapi bukan berarti kita tidak perlu berguru bahasa Inggris. Kita tetap harus berguru bahasa pergaulan dunia ini, tapi jangan hingga kita campur aduk jadi satu. Jangan hingga kita berbicara dengan sesama orang Indonesia, “I love Bahasa Indonesia” alasannya ialah kalimat itu sama saja dengan orang yang mengatakan, “Jangan mengumpat, sialan! Anjing Kau!”(*)
LihatTutupKomentar