Persoalan Kekerabatan Sentra Dan Kawasan Dalam Politik Nasional Dan Daerah. ( 1960-An)



Dampak Persoalan Hubungan Pusat- Daerah  terhadap Kehidupan Politik Nasional dan Daerah Sampai Awal Tahun 1960-an |Semenjak diakuinya kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949 hingga tahun 1960 Indonesia mengalami aneka macam situasi sebagai efek dan keadaan politik nasional. Beberapa hal yang menjadi kasus di antaranya ialah hubungan pusat-daerah, persaingan ideologi, dan pergolakan sosial politik.


1. Hubungan Pusat-Daerah

Setelah memperoleh legalisasi kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 bangsa Indonesia telah berhasil melaksanakan agenda besar yakni Pemilihan Umum I tahun 1955. Pemilu 1 yang merupakan pengalaman awal tersebut telah terealisasi dengan lancar dan kondusif sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hanya saja hasil dan Pemilu I tersebut belum sanggup merubah nasib bangsa Indonesia ke arah yang lebih sejahtera lantaran parta- partai politik hanya memikirkan kepentingan partainya.
Terbentuknya Kabinet Au Sasfroamijoyo II pada tanggal 24 Maret tahun 1956 menurut perimbangan partai- partai dalam Parlemen tidak berumur panjang lantaran menerima oposisi dan daerah- tempat di luar Jawa dengan alasan bahwa pemerintah mengabaikan pembangunan daerah. Oposisi dan tempat terhadap pemerintah sentra ini didukung oleh para panglima tempat kemudian dilanjutkan dengan gerakan- gerakan yang berusaha memisahkan diri (separatis) dan pemerintah sentra sehingga kekerabatan antara sentra dengan tempat kurang harmonis.
Pada tamat tahun 1956 beberapa panglima militer di aneka macam tempat membentuk dewan-dewan yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat, yakni sebagai berikut.

(1) Pada tanggal 20 November 1956 di Padarig, Sumatera Barat berdiri Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein.
(2) Di Medan, Sumatera Utara berdiri Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Simbolon.
(3) Di Sumatera Selatan berdiri Dewan Garuda yang dipimpin oleh Kolonel Barlian.
(4) Di Manado, Sulawesi Utara berdiri Dewan Manguni yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.


Terbentuknya beberapa dewan di atas merupakan oposisi dan tempat yang guna melaksanakan protes terhadap kebijakan pemerintah pusat. Pangkal permasalahan dan kontradiksi antara Pemerintah Pusat dan beberapa Daerah ini ialah kasus otonomi serta perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Hal ini menjadikan kekerabatan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah kurang harmonis. Dalam menghadapi gerakan yang dilakukan beberapa dewan di atas, pemerintah mengambil beberapa langkah untuk menuntaskan kasus antara Pemerintah Pusat dengan daerah-daerah dengan cara musyawarah. Akan tetapi, usaha- perjuangan musyawarah yang dilakukan pemermntah tidak sanggup menuntaskan permasalahan bahkan muncul pemberontakan terbuka pada bulan Februari 1958, yang dikenal sebagai Pemberontakan PRRI-Permesta. Kaprikornus kekerabatan pemerintah sentra dan tempat yang kurang serasi menimbulkan munculnya pemberontakan di daerah-daerah sehingga mengganggu stabilitas politik.


2. Persaingan Golongan Agama dan Nasionalis

Persaingan antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis/sosialis/non Islam mulai terasa semenjak tahun 1950. Partai- partai politik terpecah- pecah dalam berbagai ideologi yang sukar dipertemukan dan hanya mementingkan golongannya sendiri.

Pada ketika itu kabinet yang berkuasa silih berganti. Dalam waktu singkat saja dan tahun 1950-1955 terdapat 4 buah kabinet yang memerintah, sehingga rata-rata tiap tahun berganti kabinet. Kabinet- kabinet tersebut secara berturut-turut sebagai berikut.

a. Kabinet Natsir (6 September 1950-20 Maret 1951)
Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir dan Masyumi. Pada tanggal 20 Maret 1951 Kabinet Natsir bubar sehingga mandatnya diserahkan kepada Presiden Soekarno pada tanggal 21 Maret 1951. Adapun penyebab bubarnya kabinet ini antara lain kegagalan negosiasi soal Irian Barat dengan Belanda. Selain itu juga pembentukan DPRD dianggap menguntungkan Masyumi sehingga menimbulkan mosi tidak percaya dan Parlemen.

b. Kabinet Sukiman (tanggal 26 April 1951- Februari 1952)
Kabinet ini mulai resmi dipimpin oleh Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) dan Suwirjo (PNI). Dalam melaksanakan politik luar negerinya, Kabinet Sukiman dituduh terlalu condong kepada Amerika Serikat, yakni dengan ditandatanganinya persetujuan sumbangan ekonomi dan persenjataan dan Amerika Serikat kepada Indonesia atas dasar Mutual Security Act (MSA). Terhadap kasus ini Másyumi dan PNI mengajukan mosi tidak percaya dan jatuhlah Kabinet Sukiman. Selanjutnya Kabinet Sukiman rnenyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno pada bulan Februari 1952.

c. Kabinet Wilopo (April 1952-2 Juni 1953) Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Wilopo dan PNI.
            Kabinet Wilopo berusaha melaksanakan programnya sebaik-baiknya. Akan tetapi banyak kasus yang dihadapi antara lain timbulnya gerakan separatisme, yakni gerakan yang ingin memisahkan din dan pemerintah pusat. Misalnya di Sumatera dan Sulawesi timbul rasa tidak puas terhadap pemenintah sentra dengan alasan lantaran kekecewaan jawaban ketidakseimbangan alokasi keuangan hak otonomi daerah.
          Kekacauan politik diperparah dengan adanya Peristiwa Tanjung Morawa di Sumatera Timur pada tanggal 16 Maret 1953. Dalam insiden ini polisi mengusir para penggarap tanah milik perkebunan. Penduduk yang dthasut oleh kaum komunis menolak pergi dan melawan pegawanegeri negara. Akhirnya terjadilah bentrokan antara penduduk dengan polisi. Peristiwa mi memunculkan mosi tidak percaya yang kemudian kabinet Wilopo jatuh pada tanggal 2 Juni 1953.

d. Kabinet All Sastroamidjoyo 1 (31 Juli 1953 — 24 Juli 1955)
      Kabinet ini terbentuk pada tanggal 31 Juli 1953 yang dipimpin oleh Mr. Au Sastroamidjoyo dan unsur PNI sebagai Perdana Menteri. Walaupun banyak menghadapi kesulitan, kabinet Au I mi berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Pada tanggal 24 Juli 1955 Kabinet Ali I jatuh disebabkan adanya kasus dalam TNI-AD, yakni soal pimpinan Tentara Nasional Indonesia AD menolak pimpinan gres yang diangkat oleh Menteri Pertahanan tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan TNT-AD.
         Dengan sistem kabinet panlementer, kekuasaan pemerintahan tertinggi dipegang oleh Perdana Menteri. Perdana Menteri ini bersama para menteri (kabinet) bertanggungjawab kepada parlemen. Kaprikornus apabila dewan legislatif tidak menyetujui kebijakan pemerintah maka sanggup menjatuhkannya. Pada waktu itu Parlemen terlalu sering menjatuhkan kabinet maka pemerintah tidak sanggup menjalankan programnya.
         Persaingan ideologi juga tampak dalam badan konstituante. Konstituante hasil Pemilu I mulai bersidang pada tanggal 10 November 1956. Pada ketika itu negara dalam keadaan kacau disebabkan oleh pergolakan di daerah. Anggota- anggota Konstituante juga menyerupai anggota- anggota DPR, yakni terdiri dan wakil- wakil dan puluhan partai. Mereka terbagi atas dua kelompok utama yakni kelompok Islam dan kelompok nasionalis/sosialis/non Islam. Antara dua kelompok tersebut teryata tidak pernah tercapai kata sepakat mengenai isi Undang-Undang Dasar. Sidang Konstituante yang selalu diwarnai dengan perdebatan ini kesudahannya mendorong presiden mengemukakan gagasan untuk kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dengan demikian persaingan antara kelompok agama dan nasionalis yang berlangsung hingga awal tahun 1960-an mengakibatkan keadaan politik nasional tidak stabil. Hal tersebut sangat mengganggu jalannya pemerintahan baik di tingkat sentra maupun daerah.

3. Pergolakan Sosial Politik

Pemilihan Umum I 1955 belum sanggup membawa perubahan menuju kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, contohnya belum ada gejala perbaikan ekonomi terutama di daerah-daerah. Hal mi menimbulkan protes baik secara eksklusif maupun tidak langsung oleh tempat terhadap pemerintah pusat. Protes tidak eksklusif pertama kali terjadi pada tahun 1956 yang dijadikan sebagai sasarannya ialah orang Cina terutama dianggap hahya mencari untung di bumi Indonesia. Sebagai penggagas dalam protes ini ialah Asaat (Mantan Menteri Dalam Negeri Kabinet Natsir dan Pejabat Presiden RI ketika Soekarno menjabat Presiden RIS) yang didukung oleh pengusaha-pengusaha pribumi. Dalam menghadapi protes ini kesudahannya pemerintah menegaskan tekadnya untuk membantu usaha-usaha pribumi.

Protes yang lain juga dilakukan oleh daerah-daerah di luar Jawa dengan alasan sentra tidak memperhatikan daerah. Khususnya di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara pemerintah dianggap membiarkan penyelundupan-penyelundupan yang dilindungi penguasa-penguasa daerah. Beberapa tempat di Sumatera dan Sulawesi merasa tidak puas dengan alokasi biaya pembangungan yang diterimanya dan pusat.

Selain itu kelemahan pemerintah pusat dalam menjalankan kebijakan politik di daerah-daerah terbukti tampilnya kudeta di tempat oleh pihak militer. Menurut pandangan mereka pemerintah sentra tidak cakap dalam memerhatikan kepentingan daerah, tidak adil dalam pembagian pendapatan ekspor dan terlalu birokratis dalam menuntaskan sesuatu urusan, bahkan untuk urusan yang mendesak. Kelemahan-kelemahan sentra ini nantinya akan berakibat munculnya pemberontakan di daerah-daerah.

Pergolakan di tempat ini diawali dengan adanya gerakan pengambilalihan kekuasaan oleh Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein di tempat Sumatera Tengah dan Gubernur Ruslan Mulyohardjo pada tanggal 20 Desember 1956. Gerakan mi selanjutnya diikuti oleh terbentuknya Dewan Gajah, dan Dewan Manguni. Gerakan pengambilalihan kekuasaan ini selanjutnya pecah menjadi pemberontakan terbuka pada bulan Februari 1958 yang dikenal dengan pemberontakan “PRRI-Permesta.”

Adapun secara singkat terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang merupakan pergolakan sosial politik pasca legalisasi kedaulatan tersebut sebagai berikut.

a. Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
         Salah satu isi dan persetujuan KMB Pada tanggal 2 November 1949 ialah bahwa pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan Tentara Nasional Indonesia sebagai intinya. Temyata pembentukan APRIS ini menimbulkan ketegangan-ketegangan dan dipertajam dengan kontradiksi politik antara golongan “federalis” yang ingin tetap mempertahankan bentuk negara belahan dengan golongan “unitaris” yang menghendaki negara kesatuan.
        Pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung Kapten Raymond Westerling memimpin gerombolan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Gerombolan ini menawarkan ultimatum kepada pemerintah RIS dan Negara Pasundan semoga mereka diakui sebagai “Tentara Pasundan” dan menolak usaha-usaha untuk membubarkan negara boneka tersebut. Gerombolan APRA yang menyerang kota Bandung gersebut berjumlah kurang lebih 800 orang dan terdiri dan bekas KNIL. Dalam perampokan.
Upaya pemerintah RIS untuk menumpas gerombolan APRA tersebut dengan mengirimkan sumbangan kesatuan-kesatuan polisi dan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akhirnyá pada tanggal 24 Januari 1950 pasukan Tentara Nasional Indonesia berhasil menghancurkan gerombolan APRA sedangkan Westerling melarikan diri ke luan negeri dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda.

b. Pemberontakan Andi Azis
Pada tanggal 5 April 1950 di Makassar timbul pemberontakan yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan bekas KNIL di bawah pimpinan Kapten Andi Azis. Adapun aneka macam tuntutan Andi Azis terhadap pemerintah RIS sebagai berikut……
1) Andi Azis menuntut semoga pasukan-pasukan APRIS bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di tempat NIT.
2) Andi Azis menentang dan menghalangi masuknya pasukan APRIS dan Tentara Nasional Indonesia yang sedang dikirim dan Jawa Tengah di bawah pimpinan Mayor Worang.
3) Andi Azis menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur harus dipertahankan supaya tetap berdiri

Untuk menumpas pemberontakan Andi Azis pemerintah RIS melaksanakan aneka macam upaya, di antaranya adalah:
1) Setelah ultimatum kepada Andi Azis untuk menghadap ke Jakarta guna mempertanggungjawabkan perbuatannya tidak dipenuhi maka pemerintah mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut.
2) Pemerintah mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang dan terdiri dan aneka macam kesatuan dan ketiga,angkatan dan kepolisian.  Selanjutnya APRIS segera bergerak dan menguasai kota Makassar dan sekitarnya. Pada bulan April 1950 Andi Azis menyerahkan diri akan tetapi pertempuran-pertempuran antara pasukan APRIS dan pasukan KNIL masih berlangsung pada bulan Mei dan Agustus 1950.
c. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Pemberontakan ini terjadi di Ambon pada tanggal 25 April 1950 yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia bekas anggota KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) yang pro Belanda. Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dipimpin oleh Dr. Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur.
Untuk menumpas pemberontakan RMS, pemerintah semula mencoba  mengirimkan suatu misi yang dipimpin oleh Dr. Leimena. Akan tetapi upaya ini tidak berhasil. Oleh lantaran itu pemerintah segera mengirimkan pasukan ekspedisi

di bawah pimpinan Kolonel AE. Kawilarang. Pada tanggal 25 September 1950 seluruh Ambon dan sekitarnya sanggup dikuasai oleh pasukan pemerintah. Dalam pertempuran melawan pemberontak RMS ini gugurlah seorang pahiawan ketika memperebutkan benteng Nieuw Victoria, yakni Letkol Slamet Riyadi.
Tokoh-tokoh lain dan APRIS (TNI) yang gugur adalah
  1.  Letnan Kolonel S. Sudiarso
  2. Mayor Abdullah.

             Setelah kota Ambon jatuh ke tangan pemerintah maka sisa- sisa pasukan RMS melarikan diri ke hutan-hutan dan untuk beberapa tahun lamanya melaksanakan pengacauan.

d. Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indones ia (PRRI) dan Pemberontakan Piagam Perjuangan Rakyat Semsta (Permesta)

Pertentangan antara Pemerintah Pusat dan beberapa Daerah yang menjadi pangkal permasalahan ialah kasus otonomi dan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Pertentangan mi semakin meruncing dan terbentuklah Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Manguni, dan pengambilalihan kekuasaan pemerintah setempat akhimya pecah menjadi perang terbuka pada bulan Februari 1958, yang dikenal sebagai pemberontakan PRRI-Permesta.
Pada tanggal 10 Februari 1958 Letnan Kolonel Ahmad Husein mengultimatum kepada pemerintah sentra semoga dalam waktu 5 x 24 jam seluruh anggota Kabinet Juanda mengundurkan din. Pemerintah mengambil perilaku tegas dalam menghadapi ultimatum tersebut. Perwira-perwira yang. duduk di dewan-dewan itu dipecat. Mereka itu ialah
  1. Letnan Kolonel Ahmad Husein (Ketua Dewan Banteng dan Padang,Sumatera Barat)
  2.  Kolonel Zulkifli Lubis,
  3. Kolonel Simbolon,
  4. Kolonel Dahian Djambek.
Pada tanggal 15 Februari 1958 pemberontakan mencapai puncaknya ketika Achmad Husein memproklamirkan berdirinya “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) berikut pembentukan kabinetnya dan Syafruddin Prawira negara sebagai Perdana Menteri. Berdirinya PRRI ini selanjutnya menerima sambutan di Indonesia belahan Timur yang merupakan gerakan separatis.
Pada tanggal 1 Maret 1957 Letnan kolonel H.N. Ventje Sumual, panglima TT VII Timur mengikrarkan Gerakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan ini menuntut dilaksanakannya Repelita dan pembagian pendapatan tempat secara adil, yakni tempat surplus menerima 70 % dan hasil ekspor. Tokoh-tokoh lain yang mendukung Permesta ini antara lain
  1. Mayor Gerungan,
  2. Mayor Runturambi,
  3. Letnan Kolonel Saleh Lahade.

 Gerakan Permesta ini sanggup menguasai tempat Sumatera Utara dan Sumatera Tengah. Gerakan ini juga menerima sumbangan dan seorang penerbang sewaan berkebangsaan Amerika berjulukan Allan Lawrence Pope. Untuk menumpas PRRI di Sumatera dan Permesta di Indonesia belahan timur ini pemerintah mengambil perilaku tegas yakni dengan kekuatan senjata. Berbagai operasi yang dilaksanakan antara lain:
1) Operasi Tegas di bawah pimpinan Kolonel Kaharuddin Nasution untuk menguasai tempat Riau,
2) Operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani untuk mengamankan tempat Sumatera Barat,
3) Operasi Sapta Marga di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Djatikusumo untuk mengamankan tempat Sumatera Utara, dan
4) Operasi Sadar di bawah pimpinan Letkol Dr. Jbnu Sutowo untük mengamankan tempat Sumatera Selatan.

Dengan aneka macam operasi di atas kesudahannya para pimpinan PRRI menyerah. Pada tanggal 29 Mei 1961 secara resmi Achmad Husein melaporkan diri beserta anak buahnya. Sedangkan untuk menumpas pemberontakan Permesta di Indonesia belahan Timur dilancarkan operasi gabungan, yakni Operasi Merdeka di bawah pimpinan Kolonel Rukminto Hendraningrat. Pada tanggal 18 Mei 1958 pesawat Allan Lawrence Pope ditembak jatuh di kota Ambon dan pada bulan Agustus 1958 gerakan Permesta sanggup ditumpas. Adapun sisa-sisa gerakan ini masih ada hingga tahun 1961 namun atas ajakan pemerintah untuk kembali ke NKRI mereka berangsur-angsur memenuhi himbauan pemerintah Indonesia. Berbagai pergolakan di tempat tersebut di atas sebagai efek dan kekerabatan pemerintah sentra dan tempat yang kurang harmonis. Dengan demikian kehidupan politik nasional dan tempat hingga awal tahun l960-an tidak stabil


LihatTutupKomentar